Asimilasi dan Nasionalisme Karbitan

Dalam sejarah, asimilasi pemain sepakbola jamak terjadi. Dan negara-negara Eropa adalah yang paling getol melakukannya.

Eusebio adalah pemain paling hebat Portugal sepanjang masa. Tetapi semua orang tahu ia berasal dari Mozambik dan baru datang ke Portugal setelah melewati masa remajanya.

Begitupun Alfredo di Stefano yang malang melintang di Real Madrid dan Spanyol. Ia orang Argentina keturunan Italia. Ia bahkan sudah membela Argentina dan kemudian Kolombia sebelum bermain untuk Spanyol.

Ferenc Puskas datang sebagai striker Hongaria dengan reputasi hebat dan kemudian membelot ke Spanyol, bahu membahu dengan Di Stefano membela Spanyol.

Tim Prancis yang mempersembahkan Piala Dunia dan Piala Eropa penuh dengan orang keturunan generasi pertama ataupun imigran yang lahir di luar Prancis. Bahkan salah satunya, David Trezeguet, konon tidak begitu fasih berbahasa Prancis. Mereka ini kalau saja tidak membela Prancis, berhak membela negara-negara asal mereka.

Tim Belanda mulai era 80-an begitu juga. Jerman yang biasanya menurunkan pemain “murni” Jerman, kini tidak bisa lagi mengatakan demikian. Inggris sama saja. Semua negara Eropa hampir tidak ada lagi yang tidak kemasukan dua atau tiga pemain hasil asimilasi.

Di Asia, Jepang adalah salah satu pelopornya. Negara ini banyak menyerap pesepakbola asal Brasil dan dalam sejarahnya memiliki sedikitnya lima pemain nasional yang berasal dari Negeri Samba.

Asimilasi itu bisa didapat karena berbagai faktor. Ada yang karena keterkaitan sejarah seperti bekas negara jajahan, perkawinan campur, garis keturunan, hak menetap karena sudah memenuhi syarat waktu untuk menjadi warga negara dan banyak lainnya.

Benar bahwa berbagai faktor ini administratif sifatnya. Alasan yang lebih mendasar untuk asimilasi sebenarnya hanyalah satu, yang bersangkutan dianggap bisa memberi kontribusi untuk mengangkat gengsi persepakbolaan negara di tingkat internasional. Tetapi alasan administratif itu sangat penting untuk mengabsahkan bahwa yang bersangkutan telah menjadi bagian dari “kita” dan bukan “mereka”. Selama kaidah nilai ke-“kita”-an itu belum terpuaskan, akan sangat susah menerima pemain sebagus apapun menjadi bagian “psyche” satu kelompok.

Kalau ditingkat klub persoalan ini mudah terpecahkan. Kontrak yang ditandatangani pemain yang bersangkutan terukur lewat imbalan finansial.

Di tingkat negara ikatan kontraknya berbeda. Harus ada rasa bersama memperjuangkan sebuah tatanan ide, nilai, mungkin (kebangsaan) nasionalisme, seabstrak apapun itu. Jadi, ketika pemain turun ke lapangan mewakili sebuah negara ia bukan semata-mata hanya bermain bola demi uang.

Kalau pemain tidak bisa berdamai dengan tatanan nilai yang ia wakili maka akan sulit mengharapkan yang terbaik darinya. Begitupun kelompok yang diwakili oleh pemain yang bersangkutan akan sangat sulit menerima pemain itu.

Itulah pentingnya dipenuhinya persyaratan administratif tersebut. Karenanyalah prosesnya disebut asimilasi: sebuah tindakan untuk menerima, merangkul, penyatuan dan internalisasi nilai.

Namun demikian, negara atau kelompok yang menyerap pemain tadi tidak boleh berperilaku egois. Harus ada kelenturan, kesadaran, untuk membiarkan para pemain serapan itu menjalankan kehidupan yang sudah mereka miliki sebelumnya. Melakukan kontrak politik untuk menjadi bagian dari sekumpulan nilai baru bukan berarti harus membuang segala nilai yang sudah mereka miliki sebelumnya.

Bagaimanapun para pemain itu mempunyai sejarah, kehidupan dan tatanan yang sudah mereka jalani sebelumnya. Adalah mustahil untuk meminta mereka memutus segalanya dan bertotalitas layaknya warga “asli”.

Berkaca pada negara-negara Eropa yang melakukan penyerapan pemain, itulah yang mereka lakukan.

Pemerintah Prancis ataupun warga negara Prancis tidak pernah mencak-mencak hanya karena Zinedine Zidane mengatakan kecintaannya pada Aljazair dan berpaspor ganda, misalnya. Atau orang Belanda tidak merasa terhina ketika kapten tim mereka, Giovanni Van Bronchost, dengan bangga mengatakan orang tuanya berasal dari Indonesia. Bahkan ketika Ferenc Puskas memutuskan untuk pulang ke Hongaria, tidak ada orang Spanyol ataupun pemerintah Spanyol mengutuknya sebagai pengkhianat.

Satu respons untuk “Asimilasi dan Nasionalisme Karbitan

Add yours

Tinggalkan komentar

Blog di WordPress.com.

Atas ↑