HITAM PUTIH KEHIDUPAN MISRA (CERPEN)

Tanah kuburan masih basah bercampur bunga-bunga yang baru ditaburi, sayup-sayup masih terdengar suara tangis pilu dari sanak saudara yang datang melayat dirumahku yang cukup sederhana itu, kecuali ibuku yang mungkin air matanya telah kering sejak kemarin sore di senin yang kelabu ketika sosok yang sangat kubanggakan, sosok yang sangat memanjakanku kembali kepangkuan-Nya dialah ayahku sayang.  Aku masih bersimpuh disamping kuburan ayahku mengingat semua kenangan saat ia masih ada dan saat ini aku bingung apa yang harus kulakukan dunia seakan menghitam pekat dan langit runtuh menindihku menenggelamkanku ke dasar bumi, entalah…hanya air mataku yang menetes mengeluarkan sejuta pilu dalam dada kelopak matakupun telah bengkak dengan tak terhitungnya air mata seanadainya kelopak mata ini dapat berbicara “Sungguh aku telah lelah dan sangat lelah menangis” mungkin kata itu yang akan diucapkannya.  Tapi toh aku harus menguatkan diri, aku harus menjadi wanita yang tegar dalam menghadapi apapun seperti yang ayahku ajarkan selama ini walaupun kenyataannya aku adalah wanita yang manja, aku berdiri meninggalkan makam ayahku yang telah sunyi sedari tadi dan hanya ada aku sendiri”hidup harus terus berjalan” kata itu terus kutanamkan dalam hati, sekarang aku masih mempunyai seorang ibu dan kuharap dia akan terus ada sampai kuberanak pinak.

Aku berjalan gontai seakan raga ini hanya seonggak daging tak bernyawa, kulewati pintu belakang rumahku yang terbuat dari papan tersebut terlihat beberapa ibu-ibu yang datang melayat sedang menyiapkan makanan bagi pelayat yang masih dirumah beberapa pasang mata memandangiku penuh iba yang semakin menyayat hatiku kupercepat sedikit langkahku tak ingin mata penuh iba itu terus memandangiku kusingkap gorden kamar ayah dan ibuku kuhempaskan seonggak daging ini yang lelah diatas ranjang yang menimbulkan suara yang berderit seakan memberitahukanku bahwa ia telah tua dimakan usia.  Aku memandangi pakaian dan peci ayahku yang masih tergantung didinding dan air hangat kembali keluar dari kelopak mataku hatiku makin tersayat kutenggelamkan wajahku dibantal membendung airmata ini agar tak terus mengalir, samar-samar terdengar suara gorden tersingkap dan aku tetap membenamkan wajah ini seakan enggan melihat siapakah yang kini duduk ditepi ranjang dan membelai kepalaku yang memaksaku tuk menoleh dan dapat aku rasakan bahwa belaian seperti itu hanyalah belaian dari ibuku.  Aku duduk bersila dihapan ibu dan hanya bisa menunduk lagi-lagi air hangat itu terus keluar dari kelopak mataku bagai mata air yang terus mengalir dan aku tak tau sejak kapan aku dalam dekapan ibuku, kubenamkan kepalaku dalam pelukan ibuku “oh…betapa damainya dalam pelukan ibuku tersayang seakan tanah yang telah gersang beribu tahun tersiram air hujan kuingin pelukan ini selamanya seandainya saja kudapat menghentikan waktu” batinku .  “Jadilah wanita yang sabar dan tegar, ikhlaskanlah kepergian ayah” terdengar suara ibuku yang serak dan tetap mengelus kepalaku “janganlah larut dalam kesedihan nay….ingatlah 2 hari lagi nay ujian….nay harus konsentrasi dan buktikan pada ayah di syurga bahwa nay…adalah wanita yang tetap mengukir prestasi meski tanpa ayah, ibu takan menuntut nilai yang tinggi nay…tapi berusahalah semaksimal mungkin berapapun nilaimu ibu tetap bangga punya buah hati seperti nay…..”perlahan kulepaskan pelukan ibuku menatap matanya yang penuh sejuta kasih “tapi bu…nay berpikir nay akan berhenti sekolah saja….nay tidak ingin membebani ibu” sambil kumenatap mata sejuta kasih itu, kembali ia tersenyum dan mengelus kepalaku “anakku sayang tetaplah lanjutkan pendidikanmu ibu akan sangat bahagia jika melihat nay nanti sukses menjadi orang yang bermanfaat menjadi orang yang dibutuhkan orang lain karena ilmu yang nay miliki, ibu tidak ingin nay.. seperti ibu” kembali ia memelukku penuh kedamaian dan kasih sayang aku tau ibuku hanya sampai kelas dua sekolah dasar ia tak dapat lanjut karena kemiskinan  “ingatlah nak jangan biarkan kemiskinan meretakkan mimpimu, bermimpilah dan railah percayalah tuhan itu maha adil” kulihat air mata ibuku disela senyuman yang mengukir indah “ buatlah ibumu ini bangga nak….” Kembali ibuku menumpahkan harapannya padaku “ apapun keinginan ibu akan kuwujudkan, kemiskinan takkan membuatku menyerah menuntut ilmu” batinku.

**********

Dua hari telah berlalu sejak dua hari pula aku sudah tak dapat melihat sosok ayah ditengah-tengah kami dan kata “ayah” takkan pernah terucapkan lagi dari mulutku hingga suatu saat nanti dan dirumah yang berdindingkan papan cukup luas ini tinggal aku berdua dengan ibuku, keluargaku yang datang melayat sudah pulang sejak kemarin walaupun demikian ada tanda tanya besar yang bercokol dipikiranku karena secara tidak sengaja sebelum keluargaku pulang samar-samar kudengar ibuku sedang berbicara sambil menangis pada salah seorang keluargaku yang kupanggil paman “ada apa gerangan?” batinku terputus ketika ada yang membelaiku “bu….” Ibuku tersenyum duhai sungguh manisnya senyuman itu yang menghadirkan kekuatan dalam jiwa yang terpantul lewat cermin dihadapanku “ yang konsentrasi kerja soalnya, jangan berfikir macam-macam yakinlah bahwa nay..bisa” “iya bu..doakan nay….ya bu!?” aku menggamit tangan ibuku menciumnya memohon ridho seorang ibu “ nay berangkat bu, assalamualaikum” “nay…tasnya sayang” aku hampir lupa membawa tas, ibuku memakaikannya dibahuku “ buat ibu bangga sayang” “ iya bu…assalamualaikum” kembali kuberisalam “wa’alaikumsalam”.

Setibaku disekolah menengah pertama satu-satunya di kecamatanku ada sedikit kegugupan menyerangku karena sebentar lagi aku akan menghadapi soal-soal ujian nasional yang menentukan kelulusanku dan menentukan selanjutnya apakah aku bisa lanjut dan memakai seragam putih abu-abu atau tidak, sekolahku terlihat sepi tidak seperti biasanya yang riuh dan ramai karena hari ini hanyalah anak kelas tiga yang ada. “Hei…nay..” seseorang menepuk bahuku “ hei..lis” lis atau lilis adalah sahabatku sejak sekolah dasar kami jadi dekat dan bersahabat karena hanya kami berdua anak perempuan saat itu yang ikut perguruan karatedo tapi akhirnya kami berhenti dengan hanya sampai sabuk kuning bukan keinginan kami tapi karena guru karate kami atau simpai kami telah menikah dan harus menjalankan kodratnya sebagai wanita. “aduh lis…aku deg-degkan neh..” “ aku juga nay….tapikan kita sudah belajar keras nay, selama tiga bulan kitakan menjalani les setiap sore, eh nay..masih ingat gak waktu kejadian pak dirman kepeleset dikelas pada saat dia marah-marah” “ha…ha…ha….” Ketawa kami langsung pecah, kejadian itu memang sangat lucu karena tak ada angin tornado tiba-tiba pak dirman masuk keruangan kelas marah-marah pada saat melintasi papan tulis menuju meja gurulah beliau terpeleset bukan tanpa sebab tapi karena ada air hujan yang tergenang dilantai kebetulan habis hujan, sekolah kami kondisinya memang sangat memprihatinkan dinding papan,beratapkan rumbia dan berlantaikan tanah tapi kondisi itu tak pernah menyurutkan semangat kami tuk datang menimba ilmu dari para pahlawan tanpa tanda jasa.

***********

Sudah beberapa minggu pengumuman ujian kami keluar dan ijazahkupun telah ada ditangan. Alhamndulilah kuucapkan ketika namaku disebut sebagai peringkat kedua NEM tertinggi di sekolahku aku berhasil membuat senyuman mengukir indah dibibir ibuku dan ayahku disyurga mungkin saja, tapi rasa senang itu hanya beberapa hari selanjutnya aku bingung hendak sekolah dimanakah aku? bagaimana dengan biaya sekolahku nanti karena kudengar-dengar dari tetanggaku yang sekolah di sekolah menengah atas bahwa biayanya sangat mahal untuk ukuran kami dan aku tidak terlalu memaksa ibuku tuk menyekolahkanku walaupun pendaftaran tinggal 2 hari lagi tutupnya tapi aku lebih memikirkan kondisi ibuku yang akhir-akhir ini semakin menurun sejak kepergian ayahku mungkin karena sedih ditambah lagi beliau harus bekerja sebagai buruh tani untuk menyambung hidup kami karena ayahku bukanlah orang kaya ayahku hanya meninggalkan rumah dan sebidang tanah yang berisikan tanaman jambu mente yang hanya berbuah sekali setahun dan pertanyaan hadir dibenakku “apakah jalan menuju cita-citaku terhenti sampai disini? entalah….” Aku memandagi lampu pelita diatas meja belajarku yang selalu menemaniku belajar yang menerangiku ditengah gelapnya malam yang mencekam “ aku ingin menjadi seperti lampu pelita yang memberikan harapan yang memberikan pelita pada orang lain tentunya dengan menuntut ilmu hingga kudapat seperti pelita” aku masih berbicara dengan batinku sendiri aku berdiri membuka jendela betapa terangnya bulan purnama malam ini tak ada awan hitam yang menghalanginya aku menatap bulan itu dengan berharap suatu hari nanti aku seperti bulan dan pelita tiba-tiba kain gorden kamarku tersingkap aku terlonjak kaget “ astagfirullah ibu…” kataku mengelus dada senyuman ibuku mengembang diwajah pucatnya nan tirus tersebut, yah…sudah beberapa minggu ibuku sakit aku tak tau penyakit apa yang bersemayam ditubuh ibuku yang semakin kurus dan kelihatan lebih tua dari umur sebenarnya karena kami tak punya cukup uang untuk kepuskesmas dan maklumlah masyarakat seperti kami lebih percaya kepada dukun,tapi senyuman ibuku itu tetap mendamaikan jiwaku yang galau “ tidak baik anak gadis melamun malam-malam anakku sayang, kemarilah disamping ibu” aku menuju ditepi ranjang duduk didekat ibuku “ besok ibu akan mengantar nay..pada paman nay biar nay bisa melanjutkan sekolah” kata ibuku memandangiku penuh arti “ tapi bu nay..tidak ingin meninggalkan ibu sendirian dirumah nay mau menemani ibu dan nay ingin ditemani ibu selamanya bu..”kataku sambil kurebahkan kepalaku dipangkuan ibuku yang disambut dengan belaian penuh kasih sayang “ibu tidak sendirian sayang…ada saudara ibu tante nay….dan nay disana tidak sendiri ada paman dan sepupu nay”  melalui sudut mata kulihat ibuku menatapku dan kudengar suara isak ibuku “tetaplah sekolah nay…tolong wujudkan cita-cita ibu yang tertunda…melihat nay sukses itulah keinginan ibu itulah cita-cita ibu” tak terasa air hangat mengalir disudut mataku “tapi ibu sedang sakit bagaimana caranya ibu akan mengantarku dan uang darimana yang akan kita gunakan untuk biaya perjalanan bu….kampung pamankan jauh”kataku membayangkan perjalan yang cukup jauh kekampung pamanku yang beda kabupaten tersebut “selama ibu masih bisa berjalan ibu akan terus mengusahakan agar nay tetap sekolah tak usah tanyakan biaya darimana, yang nay harus lakukan berkemas-kemaslah untuk berangkat besok jangan lupa ijazah itulah yang paling penting setelah itu tidurlah” aku bangun dari pangkuan ibuku dan satu kecupan hangat mendarat didahiku “anakku sayang” ucapnya.

**********

Setahun lebih telah berlalu dan baru sekarang aku dapat menjawab pertanyaan yang bersemayam diotakku sekian lama saat secara tidak sengaja aku mendengar ibuku bercerita dengan pamanku sambil menangis ternyata ibu meminta bantuan pada pamanku untuk membantuku meneruskan sekolah dan sekarang aku berada didalam ruang guru sekolah menengah atas tempat aku bersekolah aku duduk berhadapan dengan ibu indah beliau adalah guru kimiaku di kelas I.A dan sekarang aku telah duduk dikelas II.A baru beberapa hari kami menerima buku rapor alhamndulilah aku mendapatkan peringkat ke enam dan sekarang aku berhadapan dengan guru kimia yang terkenal killer itu karena aku terpilih sebagai salah-satu peserta olimpiade kimia diam-diam aku sangat merasa bangga dan tentu saja ini akan membuat ibuku bangga “bagaimana nay….?seminggu lagi olimpiade akan dimulai ibu harap kamu siap dan ibu harapkan nay terus mengikuti bimbingan kimia karena waktu kita terbatas” sangat tegas perkataannya setegas wajahnya dinaikan kacamatanya yang mulai turun “ iya bu nay akan berusaha semaksimal dan semampu nay…” “baiklah kalau begitu silahkan istrahat” kebetulan saat itu adalah jam istrahat, aku keluar menuju kelas hendak mengambil bekal yang kubawa dari rumah hal ini bagiku wajar aku tak mau mengharap uang jajan pada pamanku diberikan tumpangan dan makan gratis saja aku sudah sangat bersyukur yang tentu saja aku tidak berleha-leha tapi aku bayar dengan mengerjakan pekerjaan rumah yang kadang membuat air mataku menetes dan berkata “oh..tuhan sampai kapankah hamba seperti ini?” tapi toh aku kembali berpikir dan kembali semangat bila mengingat kata-kata ibuku “ tolong wujudkan cita-cita ibu yang tertunda oleh keadaan” “iya bu…nay akan mewujudkan cita-cita ibu, bu kemarin nay menerima uang beasiswa, nay juga mendapat peringkat enam dan nay dipilih untuk mengharumkan nama sekolah melalui olimpiade kimia dan tentunya mengharumkan nama ibu juga” batinku sambil tersenyum “nay..!!!! nay…!!!!” seseorang memanggilku aku menoleh dan diujung koridor sana sumber suaranya ternyata yuni teman sebangkuku sejak kelas satu sampai sekarang  kami masuk di kelas yang sama , dia kelihatan berlari menuju arahku “huff….capek banget” diaturnya nafasnya saat berada disampingku dia memang cepat kecapean karena badannya yang gendut sebenarnya aku juga merasa kasian badannya terlalu besar atau terlalu gendut “nay..ada surat dari kampung kelihatannya surat dari ibumu” belum sempat ia menyodorkan aku sudah menariknya sambil tersenyum senang “ini pasti surat dari ibu” kataku tanpa peduli apakah yuni mendengarku atau tidak yang pastinya aku sangat senang, kulihat ada perangko seribuan yang menempel disudut kiri atas yang distempel itu menandakan surat ini dikirim sekitar seminggu lalu atau empat hari lalu dan kulihat nama pengirimnya atas nama “Nurhayati” senyumku pudar tapi aku kembali berpikir “ibukukan tak tau membaca jadi wajar jika dia meminta bantuan tante nur untuk menulis surat untukku tapi kenapa nama pengirimnya atas nama tante nur juga? Apa mungkin tante nur lupa menulis nama ibu? Nama ibukukan Sitti Fatimah” aku terus bertanya-tanya dalam hatiku aku meneruskan langkahku menuju kelas dan yuni tetap mengikutiku dibelakang sesampaiki dikelas aku langsung duduk yang dikuti yuni disampingku yuni hanya melihat tingkahku, perasaanku mulai tidak enak buru-buru kubuka amplop surat itu “emang itu surat apaan sih nay..???”tanya yuni yang tidak kujawab dan betapa kagetnya aku karena didalam surat ada uang berjumlah delapan puluh ribu rupiah kusimpan uang itu didalam amplop dan kembali kuambil surat kubuka isinya cukup singkat.

Pamandati  , 4 Juli 2004

Buat ananda

Nayaffa Djamrin

Singkat saja tante sampaikan, tolong setelah baca surat ini segeralah pulang ke kampong ibu kamu dalam keadaan sakit dan kondisinya dalam keadaan sekarat.  Gunakanlah uang ini untuk sewa nay.

Nurhayati

Air mataku menetes yuni langsung meraihku dalam pelukannya memelukku erat kudengar ia terisak juga “nay yang sabar ya…ibu kamu pasti sembuh, percayalah pada yuni ibu kamu pasti sembuh setelah melihatmu, mungkin ibu nay hanya sakit karena rindu pada nay…” kata yuni menghiburku dan akupun tau yuni hanya menghiburku tidak mungkin hanya karena rindu lantas ibuku sekarat seperti yang dituliskan dalam surat.  “Berkemaslah nay…nanti biar aku yang menyampaikan kepada wali kelas biar aku yang mengatur semuanya” tampa ba bi bu aku langsung mengambil tasku di laci meja dan pulang kerumah pamanku untuk pamitan setelah itu aku langsung pulang kekampung.

**********

Sesampaiku didepan rumah kulihat beberapa orang tetangga dan saudara ibuku diruang tamu “assalamu’alaikum” “walaikumsalam” semua mata tertuju pada sosokku dan kulihat tanteku meneteskan air mata hatiku makin tidak karuan aku langsung menuju kamar ibuku tanpa menyimpan tas selempangku terlebih dahulu, ketika sampai di tepi ranjang air mataku secara spontan jatuh menetes aku meraih tangan ibuku kusalami dan kuciumi “oh…gerangan kenapa ibuku sangat berbeda dengan dulu kondisinya tak dapat kugambarkan sangat-sangat kurus hanya tulang yang terbungkus kulit” batinku dengan tetap menangis dan masih mencium tangannya suhunya sungguh panas “ nay sayang….sudahlah jangan menangis tataplah ibumu ini” aku mengangkat kepalaku dipaksakannya mulutnya tersenyum senyuman yang selalu mendamaikanku tapi saat ini senyuman itu tidak dapat membuatku tenang dan damai senyuman itu makin membuat hatiku pilu “ingat sayang jadilah wanita yang penuh dengan kesabaran, ketegaran dan semangat menghadapi hidup, jangan mudah dipermainkan dengan keadaan” aku hanya terisak “sekolah yang tinggi jadilah orang sukses bila nay nanti sudah jadi orang sukses di kota ibu akan mengikuti dimanapun nay beradaa ibu akan selalu disamping nay” kembali ibuku menasehatiku dengan suaranya yang sangat berat melawan penyakitnya yang sangat sakit dapat kutahu dari deru nafasnya yang sangat berat dan saat itu aku tau ibuku hanya menghiburku, aku tau ibuku takkan bertahan lama dengan kondisi seperti itu air mataku terus mengalir beberapa tetanggaku yang menjenguk juga ikut meneteskan air mata “ oh…tuhan tolong jangan ambil nyawa ibuku aku tak bisa hidup sendirian aku tak bisa mengarungi samudra hidup sendirian cukup ayahku yang Engkau ambil” jeritku dalam hati “nay…ibu haus” suara ibuku semakin serak segera mereka mengambilkan air dan sendok karena ibuku saat itu sudah tak dapat minum langsung digelas “nay…..ibu ingin berbaring dipangkuan nay”aku segera membaringkan ibuku dipangkuanku aku berusaha membendung air mataku tapi tak bisa tetap saja ia keluar aku memegang kaki ibuku “ ya tuhanku apakah ini pertanda…..” aku tak sanggup meneruskan kata-kataku, aku hanya terdiam sambil membantu ibuku minum dengan menggunakan sendok karena minum melalui pipetpun tak sanggup ia lakukan dipandanginya wajahku sambil mengelus pipiku suapan kedua ia menahan tanganku sambil tetap mengelus pipiku dan memandangi wajahku “ anakku sayang belahan hati ibu tetaplah tersenyum ditengah kesedihan tetaplah bermimpi jangan biarkan keadaan meretakkan mimpimu wujudkanlah mimpi-mimpi ibu yang tertunda” suaranya semakin serak tapi tetap tersenyum dan beberapa detik berikutnya kulihat ibuku sakratul maut air mataku semakin deras aku hanya bisa membisikkan kalimat syahadat ditelinganya kupeluk kepala ibuku inginku ikut serta menemani ibuku namun kehendak tuhan tak dapat dilawan dia yang Maha kuasa sungguh tiada yang mustahil apabila Dia telah berkendak dan ibukupun menghembuskan nafas terakhirnya di pangkuanku saat itu aku hanya bisa mematung tak bisa bergerak dan tak tau hendak berkata apa yang kurasakan airmataku terus mengalir dunia seakan kembsali gelap mencekam dan langit kembali menindihku menenggelamkanku didasar bumi.

Aku kembali berdiri mematung dimakam tapi sekarang makam ibuku bukan ayahku aku masih tak percaya aku berharap ini adalah makam ayahku dan sekembaliku dirumah akan ada senyuman yang mendamaikan jiwaku, dekapan hangat yang menyejukkan jiwaku dan kecupan hangat tapi semua itu tinggalah kenangan manis yang takkan mungkin terulang dalam lembaran hidupku dan sekarang aku harus siap menghadapi hidup ini sendiri.

**********

“Nay….balik yuk dah sore nih…air juga dah mulai surut nay” epy mengajakku meninggalkan pantai aku mengusap airmataku yang mengalir sedari tadi untung saja epy tidak melihatnya karena asyik berenang dengan teman-teman KKP-ku yang lainnya dan aku menyendiri memandangi pantai di desa tempat kami KKP (Kuliah Kerja Profesi) dan sudah hampir sebulan kami disini, “py duluan saja sebentar lagi aku balik aku ingin melihat matahari tenggelam” aku memandangi cakrawala sore dan memandangi langit berharap ibu dan ayahku melihatku “ ayah…ibu….sebentar lagi keinginan kalian akan kuwujudkan, lihatlah anak kalian yang tak menyerah dengan keadaan, lihatlah anak kalian yang sebentar lagi memakai toga bukankah itu impian ibu dan keinginan ayah….bu aku mendapatkan kuliah gratis bu aku mendapatkan beasiswa sampai sarjana bu…sebentar lagi nay akan menjadi sarjana perikanan bu…nay akan menjadi ahli perikanan, sebenarnya nay sangat ingin saat wisuda nanti ayah dan ibu mendampingiku tapi aku tau itu hanyalah keinginan semu, nay…akan selalu tetap tersenyum, nay akan tetap tegar, nay akan mewujudkan impian ibu yang retak” kataku, kembali kuteteskan air mata yang terus mengalir saat itu aku memang tengah kuliah karena aku mendapatkan beasiswa unggulan bidang abalone yang bernaung dibawah fakultas perikanan dan ilmu kelautan tentunya di Universitas Haluoleo di kotaku. “Ayah…ibu tetaplah bersamaku dimanapun kalian berada, aku berharap kita kembali berkumpul di syurga, ayah ibu aku selalu menyayangi kalian” aku mengambil sendalku yang kutaruh tak jauh dariku  kutinggalkan pantai tersebut dan kembali keposko tempat kami KKP kubiarkan kakiku bertelanjang terkadang tertusuk oleh sampah kulit kerang yang terbawa ombak dipinggir pantai menimbulkan rasa sakit tapi aku terus melangkah begitupula dalam hidupku aku harus terus melangkah apapun yang menghadangku jika tak mampu berjalan merangkakpun akan kulakukan karena hidup bukan untuk ditangisi tapi hidup untuk dijalani dengan kesabaran, ketegaran dan senyuman.

4 respons untuk ‘HITAM PUTIH KEHIDUPAN MISRA (CERPEN)

Add yours

Tinggalkan komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑